Nostalgia Tak Berhenti di Jogjarockarta


Dua hari helatan yang mampu menggerakkan lagi impuls. Menggetarkan sinaps untuk mengirim sinyal ke otak bahwa kita mendengar, oleh karenanya kita ada. Sebuah pengalaman terkepal yang sungguh keras karena metal.

Ketika Jogjarockarta mengumumkan Helloween sebagai headliner gelaran 2025, saya secara impulsif langsung mengamankan selembar tiket. Tidak terlalu peduli mengenai susunan unit tambahan yang akan mengisi festival yang sudah tujuh kali berjalan kala itu.

Situasinya menjadi semakin mantap kala diumumkan bahwa Ugly Kid Joe akan mendampingi Helloween sebagai co-headliner dalam acara yang mulanya dijadwalkan satu hari. Line up semakin deras, ada Jamrud juga mengiringi, sehingga niat untuk hadir dengan tajuk nostalgia sudah saya tekadkan.

Catatan, ini terjadi sekitar bulan Januari atau Februari, berjarak hampir setahun full dari penyelenggaraan yang direncanakan pada hari Sabtu, 6 Desember 2025.

Memori dan Nostalgia

Nostalgia menjadi tema. Sebab, tiga pengisi acara dalam acara tersebut punya signifikansi masa dalam perjalanan hidup saya menggemari musik.

Konser internasional pertama saya adalah menonton Helloween. Tahun 2004, saya hadir di dua konser Helloween (dari total 3) yang digelar di Indonesia. Di Surabaya, kemudian di Yogyakarta.

Ugly Kid Joe adalah band nostalgik juga bagi saya. Ia mengiringi saya tumbuh besar dan mengakrabi album America's Least Wanted (1992), videoklip "Everything About You", serta doodle maskot bocah dengan topi terbalik dan mengacungkan jari tengah.

Jari tengah ke arah Surti juga tentu menjadi potongan lirik nostalgia. Jamrud juga menjadi pembuka konser Helloween di Yogyakarta tahun 2004. Sebuah full circle ketika keduanya diumumkan tampil di festival yang sama di Yogyakarta.

Jadi, saya sangat menantikan festival Jogjarockarta instalasi kedelapan ini. Ketika kemudian line up berkembang, dan festival tersebut menambah hari penyelenggaraan (Minggu, 7 Desember 2025), saya tidak terlalu tergerak untuk menambah itinerary. Saya cukup locked up dengan line up hari pertama, yang bagi saya itu tadi: nostalgik.

Sampai sekitar 10 hari jelang penyelenggaraan, dikabarkan bahwa Helloween batal tampil. Andai belum terlanjur menyelenggarakan "ziarah kolektif" bersama kawan-kawan, mengajukan cuti, serta membeli tiket transportasi serta akomodasi, mungkin saya berpikir akan membatalkan rencana pergi.

Panitia kemudian menggratiskan hari kedua bagi pemegang tiket hari pertama sebagai kompensasi batalnya Helloween. Ini obat yang harusnya cukup mengurangi rasa sakit, karena hari kedua menampilkan band-band besar juga. Tersebutlah Loudness, The Hu, dan Anthrax. Tetapi, bagi saya, tautan ke tiga unit heavy metal itu tidak sebesar pengisi line up hari pertama.

Anyway, saya akhirnya tetap mengambil dan hadir pada Jogjarockarta di dua hari.

Hari Pertama Jogjarockarta

Hari pertama, saya datang selepas Maghrib. Rebellion Rose tengah mengisi panggung. Jujur, saya baru pertama kali menonton mereka. Seharusnya, saya menonton hometown unit tersebut saat mereka membuka konser Green Day di Jakarta. Akan tetapi, untuk band utamanya saja saya terlambat saat itu.

Rebellion Rose adalah unit punk rock yang banyak beririsan konsep musik dengan punk California seperti Social Distortion. Atau yang dekat dengan kita, seperti band Superman Is Dead (SID). Vokalis mereka kebetulan juga asal Bali, sama seperti SID. Dari namanya, saya malah menduga unit ini tadinya adalah band cover SID yang menyebut penggemar perempuan mereka sebagai Lady Rose.

Pesan-pesan "berat" menghiasi layar selama Rebellion Rose tampil. Mereka mengangkat isu-isu yang tengah hangat di pemberitaan. Terkhusus mengenai solidaritas terhadap bencana banjir di Sumatra dan mengutuk deforestasi. Terkesan mereka tidak terlalu puas dengan interaksi bersama penonton yang bisa dibilang "mismatch".

Demografi yang hadir saat itu adalah angkatan Jamrud atau di atasnya. Bahkan masih sangat banyak yang mengenakan kaus Helloween, tanda siapa yang sebenarnya menarik mereka ke Stadion Kridosono.

Beberapa kali vokalis Rebellion Rose menggunakan perbandingan seperti "...biasanya ketika konser, ada lingkaran-lingkaran mosh pit." Malam itu, penontonnya memang berdiri saja mematung.

Hal serupa juga terjadi pada penampil kedua, Down For Life. Unit metal asal Solo yang "menggantikan" Helloween. Tampilnya Down For Life menjadikan Ugly Kid Joe menjadi headliner utama, dan Jamrud kedua.

Down For Life rasanya tidak gentar untuk menghadapi penonton. Mereka cukup matang karena menjadi tuan rumah bagi hajatan Rock in Solo, festival musik cadas internasional juga di Jawa Tengah. Stephanus Adjie cs tetap lantang membawa lagu-lagu metal dari setlist mereka. Termasuk lagu "Sambernyawa" yang mengagungkan Persis Solo. Agak nekad juga membawakannya di domain pendukung PSIM yang menjadi nemesis Laskar Sambernyawa (Persis).

Bergesernya "Tone" Penampil

Tone mengenai kritik terhadap pemerintah dan deforestasi juga masih tetap lantang terdengar. Baik dari layar panggung atau celetukan Adjie mengisi jeda lagu. Sebagai unit asal Solo, mereka cukup lantang juga menyindir Wapres RI. Pesan yang berat ini masih senada dengan Rebellion Rose. Sehingga, sempat bingung juga menunggu "match" dengan Ugly Kid Joe, headliner hari itu yang memproklamirkan diri sebagai unit smile rock.

Lagu dan konsep Ugly Kid Joe adalah selenge'an, santai, satir dan parodi. Sangat berbeda dengan nuansa yang dibawa Rebellion Rose dan Down For Life. Di sinilah peran Jamrud bekerja.

Usai Down For Life menutup set dengan "Pasukan Babi Neraka", penonton mulai bersiap ke depan panggung. Dijadwalkan Jamrud tampil berikut, sekitar jam 20:30.

Pada waktu yang ditentukan, Krisyanto cs kemudian langsung menghajar panggung dengan set mereka. Lagu-lagu dari album yang fenomenal pada awal tahun 2000-an. Cocok dengan demografi penonton saat itu, yang sebagian bahkan lebih tua rasanya.

Sebagian, ketika lagu-lagu Jamrud seperti "Surti Tejo", "Waktuku Mandi" dulu muncul, mungkin merasa tidak cocok dengan nuansa liriknya. Lagu komedi, straightforward, yang kadang malu juga untuk dilagukan. Akan tetapi, ketika dibungkus adrenalin dan energi panggung, semua akan singalong juga. Termasuk pada lagu yang literally semilyar umat, yaitu "Selamat Ulang Tahun".

Ketika Kris menyanyikan penggalan lagu tersebut tanpa instrumen, saya berpikir bila Jamrud masih cukup waras untuk tidak membawakan nomor yang jelas overplayed tersebut. Hingga kemudian Azis MS dkk membunyikan perangkatnya, walau tanpa "tet tet tetetet tetetet" yang terkenal itu.

Well, pada akhirnya semua penonton juga akan meloncat dan menyanyi juga. Mengacungkan jari tengah juga ke arah Sur...eh, angkasa. Teriak "...BUN...TIIING" juga pada saat lagu "Putri" dibawakan menutup set.

Semua bersenang-senang, kembali ke tujuan rekreasional menonton pertunjukan tanpa banyak berpikir. Melupakan Helloween yang batal tampil walau di-tease oleh penyelenggara acara dengan memutar karaoke "Forever in One (Neverland)" ketika jeda antar-penampil.



One Album Headliner

Mood rekreasional kembali muncul ketika Ugly Kid Joe naik panggung. Sekitar jam 22:00, Whitfield Crane dkk membuka dengan lagu "Neighbor". Lagu ini lumayan familiar bagi penonton yang hidup di era 1990-an. Album America's Least Wanted adalah salah satu ikon musik rock pada dekade tersebut. Popularitasnya terdorong oleh gelombang musik alternatif yang diputar di mana-mana, walaupun Ugly Kid Joe sebenarnya lebih senior ketimbang Nirvana, Pearl Jam, dan seterusnya.

Ugly Kid Joe nyaris bisa disebut sebagai "one album wonder". Kebanyakan orang hanya mengenal mereka dari album America's Least Wanted. Hal itu sepertinya disadari juga oleh band asal Santa Barbara, California ini. Buktinya, walaupun punya beberapa katalog lagi, 30% lagu yang dibawakan berasal dari album tersebut. Termasuk di dalamnya adalah lagu "Cats in the Cradle" yang merupakan cover song.

Sisanya adalah mix. Banyak juga dari album Menace to Sobriety (1995) dengan representasi 4 lagu. Lima lagu lainnya adalah dari katalog album yang lebih baru. Tentu saja, di lima lagu ini, penonton berkesempatan "istirahat" dari singalong, walaupun Whitfield selalu menggerakkan partisipasi mereka. Baik dengan meminta mengangkat tangan atau bertepuk tangan.

Total 17 lagu dibawakan Ugly Kid Joe. Seperti diduga, "Everything About You" menutup set yang lebih panjang dari rencana semula. Di festival lain, di mana mereka tidak menjadi headliner, Ugly Kid Joe biasa membawakan 11-12 lagu. Kali ini beberapa lagu lebih lama, sehingga menyisipkan "Paranoid" (Black Sabbath) dan beberapa lagu dari katalog baru.

Meski demikian, Ugly Kid Joe tetap layak menjadi headliner pada gelaran ini. Mereka bertemu dengan audience yang pas, dengan pilihan setlist yang cocok juga. Ketika hari pertama berakhir, sudah tidak ada lagi "craving" untuk Helloween. Karaoke Neverland yang diulang kala penonton bubar sudah tidak lagi disambut. Lebih banyak yang bicara mengenai "Ace of Spade" atau komentar mengenai upaya Whitfield Crane berdialog dengan bahasa Indonesia.

Nuansa Festival Internasional

Hari kedua, aura internasional terasa lebih kental. Ada tiga penampil luar negeri yang dijadwalkan naik panggung. Unit heavy metal asal Jepang, Loudness akan mengawali repertoar penampil. Dilanjutkan dengan band posmo metal dari Mongolia, The Hu sebelum ditutup dengan nama paling besar: Anthrax.

Daya tarik salah satu dari Big Four of Metal (Amerika) ini tidak bisa ditutupi. Hari Minggu adalah ajang mayoritas penonton yang mengenakan kaus Anthrax, atau band-band lain yang sezaman (Metallica masih banyak, Megadeth, Slayer, Iron Maiden menyusul).

Seperti biasa, saya datang selepas Maghrib. Band Usman and The Blackstones tengah mengisi panggung. Band ini merupakan bentukan aktivis Usman Hamid (Amnesty International), sehingga sudah jelas unit ini menjadi outlet untuk menyampaikan aspirasinya. Temanya jauh lebih berat dari semua penampil yang muncul, sehingga agak mismatch lagi dengan audience-nya.

Penonton baru menghangat ketika Loudness naik panggung. Kakek-kakek dari Jepang ini cukup populer di penggemar musik metal Indonesia. Beberapa kali pula Akira Takasaki dkk tampil di negeri kita.

Bagi yang tidak paham dengan musik mereka (seperti saya), model lagu mereka rasanya juga sangat familiar apabila kenal dengan NWOBHM seperti Judas Priest dan Iron Maiden. Genre mereka cukup dekat dengan classic heavy metal. Struktur lagunya juga sangat pakem, bahkan relatif monoton.

Satu lagu dan lainnya menggunakan formula yang cukup seragam. Riff pada intro, verse, chorus, verse, chorus, kemudian solo gitar Akira Takasaki, sebelum balik ke verse, chorus. Semua sama, kecuali pada satu lagu berjudul "So Lonely" yang baru muncul di pertiga akhir.

Atmosfer Struktural dari Mongolia

Bicara mengenai keseragaman, penampil berikutnya juga sebetulnya memiliki pola yang hampir seragam. Kita bicara mengenai The Hu, band folk metal (atau posmo metal) asal Mongolia. Band ini menampilkan musik metal dengan "kearifan lokal" berupa vokal dari tenggorokan (throat), serta instrumen gesek asli Mongolia yang bernama morin khuur. Semacam cello dengan dua senar dan variannya yang bernama tovshuur. Jujur, saya harus googling untuk itu.

The Hu tampil dengan total delapan personil di atas panggung. Resminya mereka beranggotakan 4 personil yang dipimpin oleh Gala Tsendbataar (vokalis dan pemain morin khuur). Mendeskripsikan musik mereka akan sulit dijelaskan secara teknis. Tetapi bayangkan saja sedang mengapresiasi Rammstein dengan instrumen eklektik dan atmosfer padang rumput Mongolia.

Atmosferik barangkali juga bisa disematkan pada nuansa musik The Hu. Walaupun ada penghalang bahasa, dimana mereka menyanyi dalam bahasa Mongolia (termasuk cover "The Trooper" milik Iron Maiden), musik The Hu tetap bisa dinikmati. Mengikuti beat dan groove, sembari membayangkan nuansa yang coba disampaikan, saya masih bisa larut. Membayangkan musik mereka sebagai semacam musik latar dalam sinema tentang Genghis Khan dan masyarakat Tengri. Atmosfer yang didukung wardrobe pilihan personil The Hu.

Belakangan, ketika mengulik musik mereka, tema yang dibawakan memang benar dari masa leluhur masyarakat Mongolia dan agama Tengri. Termasuk kisah epos Genghis Khan, yang sempat coba dihapus dari memori masyarakat Mongolia di masa komunis Soviet.

The Hu mendapatkan sambutan sangat meriah dari penonton Jogjarockarta. Tak ada kendala komunikasi, semua tangan tetap mengepal dan berteriak "Hu, Hu, Hu, Hu!" Setelah lagu penutup "This is Mongolia", penonton meminta mereka menambah set. Walaupun tentu saja, dalam festival, hal itu sulit.

Terlebih, penampil selanjutnya adalah band yang paling banyak dinanti. Unit thrash metal asal Big Apple, Anthrax.



Intensitas Usia dan Esok Hari

Penampilan Scott Ian dkk adalah yang kedua kali di Indonesia. 13 tahun lalu mereka sempat datang ke Jakarta. Kenangan terbaik dari konser saat itu? War dance tentu saja. Tarian bangsa Indian yang diciptakan dari mosh pit besar ketika lagu berjudul sama dibawakan.

Setidaknya itu ekspektasi penonton terhadap Anthrax. Pertanyaannya: apakah energi mereka masih ada 13 tahun kemudian?

Anthrax tidak menahan diri. Mereka langsung membakar panggung dengan signature musik thrash mereka. Lagu seperti "Caught in a Mosh" bahkan sudah muncul di set-set awal. Lingkar-lingkar mulai terbentuk, walau lekas surut juga. Setidaknya ini menjadi pertanda apa yang akan terjadi.

Susunan set yang dibawakan bisa dibilang klasik dan kontekstual dengan harapan mayoritas penonton. Diskografi yang muncul adalah pada periode keemasan thrash metal yang kemudian memunculkan "Madhouse", "Metal Thrashing Mad", atau "Antisocial".

Salah satu album paling populer mereka, Among the Living menyumbang 3 lagu. Salah satunya tentu saja "Indians" yang digunakan sebagai penutup set. Band dengan personil yang mulai masuk ke kepala enam ini masih mampu mengomando penonton untuk membuat mosh pit raksasa. Tak hanya itu, Scott Ian juga bisa menggerakkan umatnya yang juga banyak berkepala empat-lima, untuk mewujudkan war dance. Berlari berputar seperti orang Indian yang hendak berangkat perang.

Barangkali, bagi banyak yang hadir, hanya demi Anthrax mereka mau terjun lagi ke dalam mosh pit. Apalagi sambil berlari mengelilingi sepanjang lagu, tanpa berpikir apa yang akan terjadi esok hari.

Sebuah pemandangan yang sangat epik terjadi di Stadion Kridosono dalam penutup gelaran Jogjarockarta. Tidak ada yang terlalu peduli dengan esok hari, seperti halnya festival ini yang disampaikan tidak akan dihelat lagi.

Bagi penonton yang hadir, Scott Ian dkk sukses mengunci masa pada saat itu. Kembali ke suatu masa ketika intensitas, kolektivitas, dan komunalitas sungguh mewarnai hari-hari kita menikmati musik. Hal yang terwujud dalam dua hari konser. Yang bagi saya sungguh mengembalikan lagi ke ranah nostalgia.

Tanpa Helloween, memori-memori tua itu masih bermunculan. Tentang kotanya, penampil, musiknya, dan juga camaraderie dari sebuah helatan bersama (yang terpenting) orang-orangnya. Beginilah seharusnya musik dirayakan.

Ribuan tangan terkepal di udara!

Related

STICKY 6300942040536908711

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item